Karomah Kyai Haji Abbas Buntet Dalam Pertempuran 10 November
Salah satu kiai yang menjadi pejuang pada masa revolusi ialah Kiai Abbas bin Abdul Jamil, Buntet Cirebon. Kiai Abbas merupakan kiai kharismatik, yang dikenal karena pengetahuan keislaman, keteduhan spiritual dan kekuatan ilmu kanuragan yang menjadikan beliau sebagai rujukan dalam perang kemerdekaan. Kiai Abbas, dikenal sebagai Angkatan Udara Nahdlatul Ulama, yang menghancurkan beberapa pesawat tempur tentara NICA, dalam perang kemerdekaan di Surabaya, November 1945. Uniknya, Kiai Abbas menggunakan bakiak, tasbih dan butiran pasir sebagai senjata untuk merontokkan pesawat tempur musuh. Bagaimana kisahnya?
KYAI ABBAS bin ABDUL JAMIL merupakan salah seorang ulama legendaris Nahdatul Ulama (NU) yang terkenal dengan keberanian dan kesaktiannya dalam pertempuran 10 November 1945 yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan.
Putra sulung Kiai Abdul Jamil, putra Kiai Mutaad yang juga menantu Mbah Muqqayim, pendiri Pondok Pesantren Buntet dan salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon ini lahir pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H (1879 M) di Pekalangan, Cirebon.
Kiai Abbas pertama mengenal dan belajar ilmu agama Islam dari ayahnya KH Abdul Jamil, lalu di Pondok Pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon di bawah asuhan Kiai Nasuha. Kemudian, dia pindah ke Pesantren Salaf di Jatisari di bawah asuhan Kiai Hasan.
Merasa belum cukup menguasai ilmu agama Islam, Kiai Abbas pergi meninggalkan Jawa Barat yang menjadi tanah kelahirannya. Dia lalu menuju sebuah pesantren di Tegal, Jawa Tengah yang diasuh oleh Kiai Ubaidah.
Setelah menyerap ilmu agama di Tegal, dia melanjutkan studinya ke Pondok Pesantren Tebuireng, di Jombang. Di sana, dia langsung mendapat pelajaran ilmu agama Islam dari KH Hasyim Asyari, tokoh kharismatik yang menjadi pendiri NU.
Di Tebuireng, Kiai Abbas mulai berkenalan dengan santri dan kiai terpandang seperti KH Abdul Wahab Chasbullah, pendiri NU yang menerima gelar Pahlawan Nasional 2014, dan KH Abdul Manaf yang turut mendirikan Pesantren Lirboyo, Kediri.
Pada tahun 1900, ketika Kiai Abbas datang ke Jombang bersama kakak kandungnya Kiai Soleh Zamzam Benda Kerep, Kiai Abdullah Pengurangan, dan Kiai Syamsuri Wanatar, Pesantren Tebuireng banyak diganggu para penjahat.
Dengan keahlian bela diri dan kesaktian yang dimilikinya, para penjahat yang mendapat beking Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dan Pabrik Gula Cukir yang berada di kawasan dekat pesantren dipukul jatuh semuanya.
Petualangan Kiai Abbas dalam menimba ilmu agama Islam di Bumi Jawa berakhir di Pesantren Tebuireng. Namun, pengembaraannya masih belum berakhir. Dari Jombang, dia berangkat ke Makkah guna mempelajari pemikiran Islam di Timur Tengah.
Di Makkah, Kiai Abbas bertemu dan belajar agama Islam dengan Muhammad Mahfudh bin Al-Allamah Haji Abdullah bin Haji Abdul Manan bin Abdullah bin Ahmad At-Turmusi, seorang ulama besar asal Desa Termas, Pacitan, Jawa Timur.
Karya Muhammad Mahfudh At-Termasi yang paling tersohor dalam adalah I anathut Thalibin syarah kitab Fathul Muin yang selesai ditulisnya bulan Syawal 1300 H. Selain itu, masih banyak lagi kitab yang telah ditulis Mahfudh At-Termasi.
Selama berada di Makkah, Kiai Abbas juga bertemu dengan KH Bakir dari Yogyakarta, KH Abdillah dari Surabaya, dan KH Wahab Chasbullah dari Jombang. Mereka lalu bersama-sama pulang ke Tanah Air. Kiai Abbas kembali ke Jombang.
Setibanya di Jombang, Kiai Abbas diminta memimpin Pondok Pesantren Buntet dan mengajar kitab kuning kepada para santri. Di bawah pimpinan Kiai Abbas, Pondok Pesantren Buntet mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Dia mulai melakukan pembaharuan dengan mengajarkan karya para ulama Mesir, seperti tafsir Tontowi Jauhari yang banyak mengupas masalah ilmu pengetahuan, dan tafsir Fahrurrozi yang bernuansa filosofis kepada para santrinya.
Selain seorang pejuang revolusi, beliau juga merupakan sosok pemimpin pesantren yang perjuangannya banyak sekali dalam mengembangkan sistem madrasah dan bandongan di Pesantren Buntet. Pengakuan historis menyebutkan bahwa pada masa kepemimpinan Kiai Abbas, Pondok Pesantren Buntet berkembang pesat dalam bidang pendidikan umum dan keagamaan. Yang dikembangkan beliau adalah sistem dan metode pengajaran serta mata pelajarannya baik dalam khazanah tradisional maupun modern.
Dengan demikian yang membedakan dengan para pendahulunya adalah bahwa beliau mengembangkan dan mempraktikkan sistem pendidikan dengan metode halaqah (seminar) dan madrasi (kelasikal), di samping mempraktikkan metode klasik, sorogan, bandongan dan ngaji pasaran.
Beliau telah berhasil dalam mengembangkan sistem pembelajaran perpaduan antara sistem pendidikan tradisional dan sistem modern. KH Abbas adalah seseorang yang mempunyai ilmu agama yang tinggi dan pejuang yang hebat. Beliau merupakan salah satu tokoh sentral NU. Dalam memimpin Pesantren Buntet Cirebon sangat mirip dengan gaya kepemimpinan ayahnya, KH. Abdul Jamil. Pada tahun 1928 bertepatan dengan terjadinya Sumpah Pemuda, KH Abbas membuat inovasi baru di dunia pesantren, yaitu dengan mendirikan Madrasah Abnaul Wathan Ibtidaiyah yang di dalamnya mengajarkan pendidikan umum.
Yang paling menarik dalam sistem pendidikan yang beliau bangun ini adalah mengajarkan berbagai khazanah kitab kuning, tetapi tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Maka kitab karya ulama Mesir seperti tafsir Tantowi Jauhari yang banyak mengupas masalah ilmu pengetahuan itu mulai diperkenalkan pada para santri. Demikian juga tafsir Fahrurrozi yang bernuansa filosofis itu juga diajarkan. Dengan adanya pengetahuan yang luas itu maka pengajaran ushul fiqh mencapai kemajuan yang sangat pesat, sehingga pemikiran fiqih para alumni Buntet sejak dulu sudah sangat maju.
Bukan hanya itu saja, dalam mengajarkan ilmu fiqih, beliau juga memberi pandangan yang begitu luas mengenai perbandingan madzhab yang pada masa itu yang di pesantren lain masih dianggap tabu. Bukan hanya itu saja, namun kitab-kitab umum modern juga beliau ajarkan seperti ilmu hisab (Aritmatika), al Jughrafiyah (Geografi), al Lughah al Wathaniyah (Bahasa Indonesia), Ilmu at Thabi’iyyah (Ilmu Alam), dan Tarikh al Wathan (Sejarah Kebangsan).
Salah satu pemikiran Kiai Abbas yang sangat terkenal dan dapat mengubah paradigma pengelolaan pesantren adalah bahwa beliau menggambarkan pesantren itu seperti pasar. Menurut beliau, baik pesantren maupun pasar keduanya harus melayani siapa saja yang datang tanpa memandang jenis kelamin, domisili, usia, status sosial, latar belakang, dan lain-lain. Di samping itu jenis kebutuhannya tidak sama. Orang datang ke pasar karena butuh beras, daging, terigu, sayuran, cabai, garam, dan lain-lain. Begitu pula orang datang ke pesantren butuh ilmu qira’at, ilmu fikih, ilmu tauhid, ilmu tafsir atau belajar baca.
Oleh karena itu beliau menganjurkan kepada semua kiai dan semua ustadz yang menguasai ilmu tersebut harus mampu melayani santri yang datang. Gambaran seperti itulah yang sering disampaikan Kiai Abbas kepada keluarganya. Hal tersebut dimaksudkan untuk merangsang mereka supaya sama-sama berperan aktif dalam berkiprah di Pesantren Buntet untuk meneruskan perjuangan leluhurnya.
Dengan strategi inilah Kiai Abbas berhasil menyamakan persepsi dengan keluarganya dalam mengembangkan pesantren. Langkah Kiai Abbas berikutnya adalah memobilisasi keluarga kemudian melaksanakan pembagian tugas sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Kiai Abbas, selain mengasuh santri, juga menjadi _mursyid_ tarekat Syattariyah dan _muqoddam_ tarekat Tijaniyyah. Dalam catatan Muhaimin AG, Kiai Abbas termasuk sosok kiai dengan pikiran yang terbuka. Ketika beberapa Kiai menolak tarekat Tijaniyyah, Kiai Abbas menerima sebagai salah satu alternatif dalam laku batin. Di Cirebon, dalam perkembangannya, tarekat Tijaniyah berkembang, dengan Kiai Abbas dan Kiai Annas sebagai muqoddamnya. Kiai Annas kemudian melahirkan beberapa kiai yang menjadi penerus muqoddam dalam praktik tarekat Tijaniyyah: Kiai Muhammad (Brebes), Kiai Bakri (Kasepuhan, Cirebon), Kiai Muhammad Rais (Cirebon), Kiai Murtadho (Buntet), Kiai Abdul Khair, Kiai Hawi (Buntet), serta Kiai Soleh (Pesawahan). Sedangkan, Kiai Abbas mencetak beberapa penerus dalam tarekat ini, yakni: Kiai Badruzzaman (Garut), Kiai Ustman Dlomiri (Cimahi, Bandung), serta Kiai Saleh dan Kiai Hawi (Buntet).
Keberhasilan Kiai Abbas dalam memimpin pondok pesantren, dan kedalaman ilmu agama Islam yang dimilikinya cepat tersebar ke seluruh Indonesia. Banyak santrinya bukan hanya berasal dari Pulau Jawa, tetapi juga dari luar Jawa.
Saat itu, usia Kiai Abbas telah menginjak 60 tahun. Tetapi tubuhnya masih terlihat gagah, hanya rambutnya yang lurus terlihat memutih. Peci putih yang dilengkapi dengan serban membuat penampilan Kiai Abbas sangat berwibawa.
Saat perjuangan kemerdekaan Indonesia tengah hebat-hebatnya yang ditandai dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Kiai Abbas yang telah menjadi sepuh meninggalkan aktivitasnya mengajar kitab kuning.
Menurutnya, pada masa bersiap itu yang lebih diutamakan adalah keahlian bela diri dan ilmu kanuragan. Dia juga mulai meninggalkan pondok pesantren dan melakukan dakwah langsung di tengah masyarakat.
Sarana dakwah itu dimanfaatkannya sambil mengajarkan berbagai ilmu kesaktian dalam bela diri sebagai bekal melawan penjajah. Aktivitas Kiai Abbas ini cepat mendapatkan respon positif dari masyarakat yang ingin berjuang.
Dengan cepat, Pondok Pesantren Buntet yang selama ini dikenal sebagai laboratorium pendidikan agama Islam, berkembang menjadi benteng perlawanan melawan penjajah. Kiai Abbas lalu mendirikan laskar Hizbullah sebagai wadah perjuangan.
Selain mendirikan Hizbullah, Kiai Abbas dan para sesepuh Pesantren Buntet juga membentuk organisasi Asybal yang anggotanya terdiri dari anak-anak usia di bawah 17 tahun. Organisasi ini bertugas untuk memata-matai pergerakan musuh.
Sebelum tercapainya perundingan Renville yang mengakibatkan Pemerintah RI dan tentaranya hijrah ke Yogyakarta, pasukan Hizbullah pimpinan Kiai Abbas bertahan di wilayah Legok, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Kuningan.
Semasa perang kemerdekaan itu, banyak santri dan ulama Pesantren Buntet yang gugur dalam pertempuran. Di antara ulama dan kiai yang tewas dalam pertempuran adalah KH Mujahid, Kiai Akib, Mawardi, Abdul Jalil, dan Nawawi.
Puncak perlawanan laskar Hizbullah pimpinan Kiai Abbas adalah saat meletusnya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Sebelum terjadi peristiwa yang menggemparkan dunia itu, di Surabaya telah terjadi berbagai pertempuran bersenjata.
Dalam pertempuran itu, rakyat Surabaya berjuang melawan tentara Inggris yang bertugas sebagai polisi keamanan, dan tentara Belanda. Namun saat itu rakyat Surabaya seperti tidak memiliki kekuatan melawan penjajah hingga berhasil dipukul mundur.
Saat situasi tengah terdesak itu, KH Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad dan meminta perlawanan bersenjata baru akan dimulai nanti setelah ulama sakti dari Cirebon datang ke Surabaya. Ulama yang dimaksud adalah Kiai Abbas.
Salah seorang pengawal Kiai Abbas yang masih hidup, Abdul Wachid menceritakan pengalamannya saat mengawal Kiai Abbas ke Surabaya. Bersama Detasemen Hizbullah Resimen XII Divisi I Syarif Hidayat, Kiai Abbas berangkat pada 6 November 1945.
Pasukan Kiai Abbas meninggalkan Markas Detasemen menuju stasiun Prujakan Cirebon naik Kereta Api Express. Turut serta bersama rombongan Kiai H Achmad Tamin dari Losari yang berperan sebagai pendamping Kiai Abbas.
Pada waktu itu, Kiai Abbas tampak mengenakan jas buka abu-abu, kain sarung plekat bersorban, dan beralas kaki trumpah atau sandal japit dari kulit. Bawaan Kiai Abbas saat itu hanya sebuah kantong plastik berisinya sandal bakyak.
Setibanya di Stasiun Rembang, Jawa Tengah, sudah banyak orang yang menunggu. Rombongan Kiai Abbas lalu diantar ke Pondok Pesantren Raudhotuttholibin, di Rembang yang dipimpin Kyai Bisri. Malam harinya, dilakukan musyawarah untuk menentukan komando/pemimpin pertempuran.
Hasil musyawarah, komando pertempuran dipercayakan kepada Kiai Abbas. Usai salat subuh, pondok Pesantren Rembang sudah ramai oleh para santri yang siap mati berjuang melawan penjajah. Rombongan lalu berangkat ke Surabaya.
Sebelum berangkat ke Surabaya, Kiai Abbas sempat memanggil Abdul Wachid dan meminta sandal bakyak yang dititipkan telah kepadanya saat di Cirebon. Kiai Abbas lalu berangkat dengan menumpang mobil sedan kuno.
dalam mobil yang ditumpangi Kiai Abbas juga terdapat Kiai Bisri yang duduk di jok belakang, dan H Achmad Tamin di depan bersama sopir. Sementara para pengawal Kiai Abbas dari Cirebon diminta tetap tinggal berjaga di Pesantren Rembang.
Setibanya di Surabaya, rombongan Kiai Abbas disambut dengan gemuruh takbir dan pekik merdeka. Para kiai lalu masuk ke masjid dan melakukan salat sunnah. Kemudian, Kiai Abbas meminta Kiai H Achmad Tamin berdoa di tepi kolam masjid.
Sedangkan kepada Kiai Bisri dari Rembang, Kiai Abbas memohon agar dia memerintahkan para laskar dan pemuda-pemuda yang akan berjuang melawan penjajah untuk mengambil air wudu dan meminum air yang telah diberi doa.
Setelah meminum air yang telah diberi doa, para pemuda yang tergabung dalam Badan Perjuangan Arek-Arek Suroboyo tanpa mengenal takut langsung menyerang tentara Belanda dengan hanya bersenjatakan bambu runcing, dan parang.
Melihat keberanian pemuda Indonesia, para tentara Belanda menghamburkan pelurunya ke segala arah. Korban dari kalangan pemuda sangat banyak sekali. Namun banyak juga serdadu Belanda yang tewas di ujung bambu runcing.
Dalam pertempuran itu, Kiai Abbas dan para kiai lainnya berada di tempat yang agak tinggi, hingga bisa memantau jalannya pertempuran. Dengan menggunakan sandal bakyak, Kiai Abbas berdiri tegak di halaman masjid sambil berdoa.
Dia mengadahkan kedua tangannya ke langit, dan keajaiban terjadi. Beribu-ribu talu (penumbuk padi) dan lesung (tempat padi saat ditumbuk) dari rumah-rumah rakyat berhamburan terbang menerjang serdadu–serdadu Belanda.
Suaranya tampak bergemuruh bagaikan air bah, sehingga Belanda kewalahan dan mereka pun mundur ke kapal induk mereka. Tidak lama kemudian, pihak sekutu mengirim pesawat bomber Hercules. Akan tetapi pesawat itu tiba-tiba meledak di udara.
Beberapa pesawat sekutu berturut-turut datang lagi dengan maksud menjatuhkan bom-bom untuk menghancurkan Kota Surabaya. Tetapi sekali lagi, pesawat-pesawat itu mengalami nasib yang sama, meledak di udara sebelum beraksi.
Pertempuran hari itu berlangsung sepanjang hari dan berlanjut hingga hari esoknya. Pihak musuh kembali datang dengan menggunakan kendaraan lapis baja tank dan truk-truk langsung menyerang pertahanan para pemuda.
Serangan kedua dari pihak Belanda lebih gencar dari hari pertama. Mereka memuntahkan senjata kanon dan mortir, serta rentetan tembakan dari pesawat udara ke arah rakyat Indonesia. Serangan ini menimbulkan banyak korban jiwa.
Menghadapi serangan yang bertubi-tubi itu, para pemuda sempat terdesak dan mundur ke luar Kota Surabaya. Menjelang malam hari, pertempuran baru mulai mereda. Namun beberapa tembakan kecil masih sempat terdengar di sana sini.
Pada tanggal 13 November 1945, Kiai Abbas dan sejumlah rombongan kiai lainnya tiba dengan selamat di Pondok Pesantren Rembang. Saat itu, kondisinya tampak sangat lelah. Setelah subuh, mereka kembali pulang ke Cirebon.
Di tengah gigihnya perjuangan bersenjata rakyat, misi diplomasi juga dijalankan. Perjalanan sejarah perjuangan ini sangat mendapatkan perhatian utama dari para ulama. Hingga akhirnya tercapai Perjanjian Linggarjati, pada 1946.
Hasil perjanjian yang dinilai sangat merugikan bangsa Indonesia itu membuat banyak perjuang kecewa. Saat mendengar hasil perjanjian, Kiai Abbas merasa sangat terpukul dan akhirnya jatuh sakit lalu meninggal pada waktu subuh.
Kiai Abbas meninggal pada 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946 Masehi, dan dikuburkan di pemakaman Buntet Pesantren.
Misteri Kesaktian Bakiak Milik Kiai Abbas
Bakiak (sandal yang terbuat dari kayu) mungkin bagi kita semua dianggap sebagai salah satu sandal kuno dan ketinggalan jaman. Atau juga, menggunakan bakiak itu dikarenakan harganya yang murah dan juga awet digunakan. Cukup jarang, bakiak digunakan dalam peristiwa-peristiwa penting, lebih banyak ditempatkan untuk alas kaki di kamar mandi, atau untuk digunakan untuk santai.
Namun berbeda dengan Kiai Abbas Abdul Jamil, beliau malah menggunakan bakiak dalam peristiwa-peristiwa penting. Sebut saja ketika berlangsungnya perang 10 November 1945. Sejak keberangkatannya dari Cirebon, Kiai Abbas menitipkan sebuah bingkisan kepada salah satu pengawalnya yaitu Abdul Wachid. Saat itu, Abdul Wachid berfikir bahwa benda titipan milik kiainya tersebut merupakan benda yang sangat berharga. Ternyata, ketika bungkusan tersebut dibuka, hanya berisi sepasang bakiak.
Walaupun masih bingung, Abdul Wachid hanya mengikuti perintah Kiai Abbas dan membawa bingkisan tersebut hingga perjalanan tiba di Rembang Jawa Tengah dan singgah di kediaman Kiai Bisri Mustofa. Disitulah Kiai Abbas ditunjuk untuk menjadi komandan perang 10 November oleh para kiai yang sudah menunggu beliau. Bung Tomo yang beberapa kali meminta kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk memulai pepeanganpun, selalu ditolak oleh Kiai Hasyim, dengan alasan menunggu Singa dari Jawa Barat, yang tidak lain adalah Kiai Abbas.
Saat akan menuju Surabaya, Kiai Abbas meminta bungkusan bakiak kepada Abdul Wachid sekaligus memintanya untuk tidak ikut bergabung ke Surabaya dan menunggu di Rembang. Walaupun semangat juang Abdul Wachid cukup menggelora, namun ia tidak berani melawan perintah kiainya. Ia tetap tinggal di Rembang, hingga pada 13 November 1945, rombongan santri yang ikut berperang di Surabaya tiba di Rembang, bercerita tentang kesaktian Kiai Abbas.
Menurut para santri, Kiai Abbas berperang dengan menggunakan bakiak. Saat Kiai Abbas berdoa, tiba-tiba sejumlah alu dan lesung milik warga yang berukuran besar, berterbangan dan menghantam tentara sekutu. Pesawat yang terbangpun dilumpuhkan hanya dengan lemparan tasbih oleh Kiai Abbas.
Menurut KH Amiruddin, saat perang 10 November, Kiai Abbas dengan karomahnya, bukan hanya berada disatu tempat. Tapi di dua tempat. Yaitu di pusat kota dan dipesisir pantai Surabaya. Di pesisir pantai itulah, Kiai Abbas menghancurkan puluhan pesawat milik sekutu dengan hanya mengibaskan sorbannya keatas langit.
Indonesia kehilangan salah satu ulama panutan, yakni KH Abdullah Abbas (85), pemimpin pondok pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat. Beliau menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Tentara (RST) Ciremai pada hari Jumat (10/8) yang lalu pada pukul 04.30
Innalillahi Wa Inna ilaihi Roji’un. Kabar wafatnya kiai kharismatik yang berpengaruh di kalangan warga dan santri NU itu cepat beredar via sms, telpon dan internet. Memang, Kiai Abdullah Abbas sudah menderita sakit penyakit komplikasi kronis sejak tahun 2005 itu. Informasi yang dikumpulkan alKisah kiai yang akrab dipanggil Ki Dullah ini pernah menjalani perawatan di Ruangan ICU rumah sakit yang sama pada bulan lalu, tepatnya sejak hari Selasa (24/7) karena mengalami luka di kepala akibat benturan kepala karena terjatuh di kamar mandi.
Kyai karismatik yang juga Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu meninggal karena usia yang sudah tua dan informasi terakhir mengalami penurunan kadar hemoglobin (Hb). Atas wafatnya Ki Dullah, Keluarga Besar Buntet Pesantren, Cirebon merasakan duka yang mendalam.Beliau sebagai seorang sesepuh panutan yang dapat dijadikan contoh teladan bagi masyarakat.
Almarhum dibawa ke rumah duka sekitar pukul 06.00 WIB. Sejak pagi hingga Jum’at siang, ribuan pelayat yang datang dari berbagai daerah terus berdatangan menyemuti rumah duka KH Abdullah Abbas pemimpin Pondok Pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon, Astanajapura, Cirebon, Jawa Barat jelang Jum’at siang (10/8).
Sebelumnya pelayat dari pagi sampai siang hari melakukan sholat jenazah KH Abdullah Abbas yang biasa di panggil Ki Dulloh di rumah duka. Lepas shalat Jum’at, jenazah almarhum kembali dishalatkan di Mesjid Besar Buntet Pesantren oleh sekitar 3.000 santri melaksanakan salat jenazah yang dipimpin KH Abdul Hamid Annas, yang juga seorang pimpinan Pondok Buntet Pesantren. Setelah itu dilanjutkan dengan acara pelepasan jenazah.
Dirjen Bimas Islam Depag Nazarudin Umar yang datang mewakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, tidak hanya Cirebon dan Jawa Barat yang merasa kehilangan beliau, tetapi bangsa Indonesia dan dunia Islam telah kehilangan contoh pemimpin teladan yang amanah.“Presiden berharap santri dan masyakarat Indonesia mampu mewarisi semangat perjuangan beliau yang tanpa pamrih,” katanya.
Sementara Wakil dari PBNU sekaligus Ketua MUI Jabar KH Hafidz Utsman dalam sambutan pelepasan mengatakan, Ki Dulloh merupakan sosok pejuang lima zaman mulai jaman penjajahan, jaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan, orde lama, orde baru dan orde reformasi.”Beliau selalu membimbing perjalanan bangsa, dengan memberikan taushiyah kepada semua pemimpin antara lain untuk selalu bersatu dalam membangun bangsa,” katanya.
Sedangkan H. Muhaimin Iskandar mewakili DPR RI yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa mengatakan, bangsa Indonesia khususnya umat Islam saat ini merasa bersedih dengan kehilangan ulama besar, namun dibalik itu ada tanggungjawab untuk meneruskan apa yang telah diwariskan beliau.
Ribuan pelayat itu mengantarkan Almarhum ke tempat peristirahatan terakhir di Pemakaman Keluarga Buntet Pesantren atau TPU Gajang Ngambung di Desa Buntet, Astana Japura, Kabupaten Cirebon sekitar 800 meter dari rumah duka. Sekitar pukul 15.25 WIB jenazah mendiang KH Abdullah Abbas diturunkan ke liang lahat.
Sekilas Almarhum
KH. Abdullah Abbas adalah sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon. Beliau termasuk Kiai Khos yang menjadi rujukan umat Islam Indonesia. Bahkan banyak orang yang menyebutnya sebagai “Sang Panutan” dan “Penyangga Masyarakat”.
Kiai Abdullah Abbas sejak usia muda sampai jelang wafat banyak memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam membangun bangsa ini. Prinsip tersebut memang sudah terpatri dalam diri Kiai Dullah, karena Kiai Abdullah Abbas termasuk yang ikut meletakan pundi-pundi kemerdekaan. KH. Abdullah Abbas adalah satu-satunya putera Kiai Abbas yang ikut memimpin dalam berbagai pertempuran melawan Penjajah Belanda.
Saat itu, Kiai Abbas bertempur di Surabaya pada 10 November 1945. Kiai Abdullah Abbas pun turut berangkat bertempur melawan Penjajah. Kiai Dullah melawan Belanda di daerah Sidoarjo bersama Mayjen Sungkono. Bukan itu saja, Kiai Abdullah Abbas dengan pasukannya sering diminta untuk membantu pasukan lain seperti di Tanjung Priok, Cikampek, Menengteng (Kuningan), dan pernah juga berhasil menyerang pabrik gula Sindang Laut. Kiai Dullah aktif menjadi pasukan Hisbullah, bahkan menjadi Kepala Staf Batalyon Hisbullah. Beliau juga menjadi anggota Batalyon 315/Resimen I/Teritorial Siliwangi dengan pangkat Letnan Muda.
Riwayat Pendidikan
Kiai Abdullah Abbas merupakan anak pertama Kiai Abbas dari istrinya yang kedua yaitu Nyai Hajjah I’anah. Kiai Abdullah Abbas mempunyai seorang adik perempuan yaitu Nyai Hajjah Sukaenah, serta adik laki-laki yaitu KH. Nahduddin Royandi. Kiai Abdullah Abbas lahir di Buntet Pesantren Cirebon pada tanggal 7 Maret 1922. Dari perkawinan dengan istri pertamanya yaitu Nyai Hajjah Aisah, Kiai Abdullah mempunyai seorang puteri yaitu Nyai Hajjah Qoriah yang dipersunting oleh KH. Mufassir dari Pandeglang Banten.
Pada tahun 1965, Nyai Hajjah Aisah meninggal dunia. Tak lama kemudian Kiai Abdullah Abbas menikah dengan Nyai Hajjah Zaenab, Putri Qori terkenal KH. Jawahir Dahlan. Dari perkawinan dengan Nyai Hajjah Zaenab, Kiai Dullah dikaruniai sepuluh putra, yaitu Ani Yuliani, Ayip Abbas, Asiah, Ismatul Maula, Laela, Mustahdi, Muhammad, Yusuf, Neneng Mar’atussholiha,dan Abdul Jamil.
Kiai Abdullah Abbas sejak kecil mendapat pembinaan yang serius oleh ayahnya, Kiyai Abbas. Maka tak ayal bila jejak-jejak dan pola hidup Kiai Abbas banyak ditiru oleh Kiai Abdullah Abbas. Selain itu, Kiai Abdullah Abbas mendapat gemblengan dari beberapa Pesantren, Pesantren yang pertama kali disinggahi adalah Pesantren di Pemalang yang dipimpin oleh Kiai Makmur.
Selepas dari Pemalang Jawa Tengah, Kiai Dullah menimba ilmu pada Kiai Ma’sum di Lasem Jawa Tengah. Rampung dari Lasem, Kiai Dullah berguru pada Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari Jombang Jawa Timur. Dan terakhir Kiai Dullah digembleng oleh Kiai Abdul Karim Manaf di Lirboyo.
Selepas dari Pondok Pesantren, Kiai Abdullah Abbas langsung berkiprah di masyarakat. Dengan diserahi sebagai Ketua Batalyon Hisbullah, Kiai Dullah berjuang merebut kemerdekaan. Selepas revolusi fisik, Kiai Abdullah Abbas mengalihkan perjuanganya dari mengangkat senjata beralih pada berdakwah langsung di masyarakat. Jabatan kemiliterannya (Letnan Muda) ditinggalkan dan lebih memilih menjadi Juru Warta pada Juru Penerangan Agama Kabpaten Cirebon. Lalu menjadi Pengatur Guru Agama Islam Kabupaten Cirebon dan Jabatan terakhir adalah Kepala MAN Buntet Pesantren Kabupaten Cirebon.
Tokoh Pluralis Sejati
Kiai Abbas, ayahanda Kiai Abdullah Abbas, adalah seorang tokoh yang sangat menghargai manusia dengan apa adanya, Beliau tidak membeda-bedakan manusia baik dari segi ras, agama dan keturunan. Dihadapan Kiai Abbas semua manusia sama. Ini dibuktikan dengan banyaknya tamu dari berbagai kalangan yang datang dari berbagai kalangan ke rumah Kiai Abbas. Bahkan Beliau mempunyai anak angkat keturunan Tionghoa yaitu Kiai Usman.
Tampaknya pola hidup ini juga yang diikuti oleh anak-anaknya. Nyai Hajjah Sukaenah (Istri KH. Kahawi) pada tahun 1970-an ketika mempunyai mobil angkutan, sopirnya bernama Siem Oek, warga Sindang Laut Cirebon keturunan Tionghoa yang beragama Kristen. Padahal saat itu, berhubungan dengan orang yang tidak seagama masih dipandang sangat tabu. Sementara KH. Nahduddin Royandi yang tinggal di London (Inggris) menikah dengan warga negara Inggris keturunan Perancis.
KH. Abdullah Abbas sendiri, sering sekali didatangi tamu dari berbagai kalangan. Semuanya diterima dengan baik. Dr. Ferdy Sulaeman, STh, Ketua wadah Komunikasi dan Pelayananan Umat Beragama Jakarta Timur, ketika mengadakan Live In Pemuda Pemudi Lintas Agama pada tanggal 5 sampai 8 bulan Januari tahun 2006.
Kiai Abdullah Abbas, sebagaimana juga Kiai Abbas ayahnya, selalu menghormati tamu-tamunya tanpa pandang bulu. Siapa pun yang hadir di rumahnya, pasti mendapat penghormatan yang sama. Maka wajar bila rumah Kiai Dullah sering kedatangan tamu, baik pejabat seperti Presiden, Gubernur, Bupati, dan pejabat lainnya, pernah juga beberapa Bintang Film dan rakyat kecil.
Ketika warga Buntet Blok Bulak mendapat tekanan dari aparat karena mendemo Galian C yang hampir sampai rumah mereka, wong-wong cilik itu langsung memohon perlindungan pada Kiai Abdullah Abbas. Walaupun saat itu beliau dalam keadaan sakit, Kiai Dullah menemui mereka dan memberi semangat, “Teruskan perjuangan dan semoga berhasil,” pesan Kiai Dullah singkat.
Kecintaan Kiai Dullah terhadp wong cilik, sangat dirasakan dalam pola kehidupan sehari-harinya. Kiai Dullah selalu ngemong rakyat cilik. Dalam pengajian kitab Kuning, Kiai Dullah cenderung mengajarkan kitab-kitab yang sederhana dan simpel, seperti Kitab Safinah Annajah, Sulam Annajah, Sulam Attaufiq, Uquduljain dan kitab-kitab yang relatif tipis. Hal itu karena ia mengikuti pola pendidikan Mbah Muqoyyim (salah satu sesepuh Buntet Pesantren) yang populis, “Ajarkan Kitab Safinah (dengan bahasa yang sederhana) dengan wawasan Ihya Ulumuddin (Penjelasan yang Koprehensip).”
Maka tak aneh, setiap kali ngaji pasaran (pengajian khusus bulan Ramadhan), walaupun kitab yang dibaca sangat sederhana dan tipis, tapi yang ngaji banyak juga banyak juga orang dewasa. Selain cara pendidikan yang mengarah pada penyampaian yang sederhana tapi luas, Kiai Dullah juga secara priodik memberikan santunan kepada anak yatim dan fakir miskin yang berada di Buntet Pesantren.
Perjuangan Khittah NU
Pada tahun 1984, ketika situasi politik telah membelokan arah NU, Kiai Dullah bersama Kiai Syafi’i dari Plumbon dan Gus Dur, melakukan gerakan perlunya NU kembali ke Khittah tahun 1926. Gerakan ini tentunya mendapat tantangan yang sangat hebat dari berbagai kalangan.
Walau mendapat tantangan yang cukup berat, namun karena cintanya kepada warga NU, Kiai Abdullah Abbas terus berjuang dengan bersafari dari satu daerah ke daerah yang lain untuk melakukan kampanye perlunya NU kambali ke Khittah tahun 1926. Kiai Abdullah Abbas memang sejak muda aktif di NU. Bermula dari GP Anshor. Beliaupun pernah menjadi Ketua Rois Syuriah NU Jawa Barat.
Bertemunya Kiai Abdullah Abbas dengan Gus Dur, seakan menemukan kembali persaudaraan yang sempat renggang. KH. Abbas ayah Kiai Abdullah Abaas sangat akrab dengan Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, Kakek Gus Dur. Maka pertemanan antara keduanya membuat Kiai Abdullah Abbas mampu mengembangkan berbagai ide dan gagasan. Dinobatkannya Kiai Dullah sebagi Kiai Khos pada masa Gus Dur, telah membuat Kiai Dullah menjadi rujukan berbagai kalangan.
Dalam usianya yang sudah relatif sepuh, Kiai Abdullah beberapa kali masuk Rumah Sakit Ciremai. Ada beberapa gagasan Kiai Dullah yang sampai sekarang masih dalam proses realisasi yaitu ingin didirikannya Sebuah Sekolah Tinggi Kesehatan, Akademi Kebidanan, Sekolah Tinggi Agama Islam dan Rumah Sakit.
Beberapa sarana pendidikan yang sudah berdiri Saat ini sudah berdiri Madrasah Ibtidaiyah Putra dan Putri, Madrasah Tsanawiyah (MTs) NU Putra 1 dan MTs NU Putra 2 dan MTs Putri, Madrasah Aliyah (MA) NU Putra, MA NU Putri, Akademi Keperawatan, serta Lembaga Bahasa dan Ketrampilan.
Kisah Kiai Sakti, Mengubah Kacang Jadi Tentara Usir Belanda
Banyak cerita heroik dan mistis para kiai dari berbagai Pondok Pesantren yang ikut berjuang di jaman kemerdekaan dulu. Salah satunya cerita dari Kyai Abbas Djamil Buntet, salah seorang kiai asal Cirebon yang sangat kesohor kesaktiannya.
Konon, Kiai Abbas bisa mengubah kacang hijau menjadi puluhan tentara yang gesit untuk menghadapi pasukan Belanda. Kisah itu dicerikan pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Gus Reza Ahmad Zahhid, yang merupakan anak dari almarhum KH Imam Yahya Mahrus saat memperingati Hari Santri Nasional, Kamis, 22 Oktober 2015.
Cerita Kiai Abbas bisa mengubah kacang menjadi tentara berawal dari adanya kesepakatan tiga orang Kyai, yaitu Kiai Abdullah Faqih dari Ponpes Langitan Tuban, Kiai Mahrus Aly dari Lirboyo Kediri, dan termasuk Kiai Abbas. Mereka sepakat untuk menggerakan para santri ikut mengusir para penjajah. Ketiganya berada di bawah komando Kiai Hasyim Asya’ari.
Para kiai sakti itu berkumpul di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang untuk membahas strategi merebut Kota Surabaya dari penjajah. Dalam rapat kecil yang digelar 22 Oktober 1945 itu, Kiai Abbas Djamil ditunjuk sebagai Panglima Angkatan Laut. Mereka sepakat melakukan jihad dengan para santri untuk mengusir penjajah dari Tanah Air dengan menyerbu Surabaya pada 9 November 1945. Namun serangan itu kemudian mundur satu hari setelahnya.
Menurut Gus Reza, suatu waktu dalam perjalanan menuju Surabaya, Kiai Abbas meminta para santrinya membekali diri dengan butiran kacang hijau. Tak berani bertanya, para santri manggut saja dengan mengantongi butiran kacang hijau itu di sakunya.
Tiba di Semarang, rombongan Kiai Abbas dan para santri ternyata dihadang pasukan Belanda bersenjata lengkap. Tak ada raut cemas, Kiai Abbas hanya meminta beberapa butir kacang hijau kepada santrinya dan dilemparkan ke depan rombongan. Dalam sekejap butiran kacang hijau itu berubah menjadi tentara yang dengan cepat menggempur penghadang.
Gus Reza mendapatkan cerita itu saat berkunjung ke Cirebon dan bertatap muka dengan bekas santri anak buah Kiai Abbas yang ikut dalam pertempuran itu. Menurut Gus Reza, kisah itu kini masih sangat hidup di kalangan para santri.