Amalan Dan Dzikir Afdhal Golongan Sufi
Membedah Dzikir Paling Afdhal Menurut Golongan Sufi
DZIKIR PALING AFDHAL MENURUT GOLONGAN SUFI
Dalam kamus ajaran Sufi, terdapat pengklasifikasian dzikir menjadi tiga jenis; yaitu dzikir ‘âmmah (dzikir orang umum), dzikir khâsh (dzikir orang khusus), dzikir khâshsshatil khâshshah (dzikir orang-orang paling utama). Anehnya dzikir yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru mereka kategorikan dalam jenis dzikir pertama (dzikir âmmah) yang merupakan tingkatan dzikir paling rendah dalam pandangan mereka. Dzikir yang dimaksud ialah ucapan lâ ilâha illallâh. Level dzikir kedua, berdzikir dengan isim mufrad (nama tunggal) yaitu dengan mengulang-ulang lafzhul jalâlah (Allâh, Allâh….)[1] . Sedangkan tingkat tertinggi dalam berdzikir menurut mereka, mengulang-ulang kata huwa (dibaca hu..hu..hu) yang merupakan isim dhamîr (kata ganti ketiga tunggal) dari lafzhul jalâlah (Allah) yang artinya Dia.[2]
Demikianlah tiga tingkatan dzikir yang mereka miliki beserta contoh-contohnya. Sebelum menilik betapa jauh mereka dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada baiknya menengok landasan mereka dalam masalah ini guna mengetahui awal kesalahan mereka dalam masalah ini.
DALIH KAUM SUFI UNTUK MEMBENARKAN MODEL DZIKIR TERSEBUT
Semua golongan menyimpang mempunyai dalih yang mereka klaim membenarkan apa yang mereka yakini. Dalilh mereka dapat berujud hadits palsu, pemaksaan ayat maupun hadits shahih. Inilah yang menjadi permasalahan sebenarnya. Dalil-dalil yang shahih mutawatir ditarik-tarik untuk mendukung dan mengakomodasi apa yang telah menjadi ketentuan sebuah golongan. Mereka mensahkan dan menetapkan dzikir dengan kata Allâh lebih afdhal dengan dasar firman Allâh Azza wa Jalla :
قُلِ اللَّهُ ۖ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
Katakanlah :”Allâh-lah (yang menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan al-Qur’ân kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya…[al-An’âm/6: 91]
Mereka berpegangan pada ayat tersebut dimana Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk mengatakan Allâh (saja) dalam berdzikir. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla memerintahkan berdzikir untuk menyebut nama-Nya dengan nama Allâh (saja), tanpa mentaqyid dengan perintah lain melebihi lafazh ini. Sebab dzikir ini merupakan dizkir orang-orang khusus dari kalangan hamba-Nya yang menjadi lantaran dunia tetap terpelihara [Adh-Dhiyâ al-Mustabîn, Muhammad Fâdhil al-Habîb hlm. 155][3]
Selain itu, menurut mereka terdapat riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mentalqin ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu untuk mengatakan, “Allâh, Allâh Allâh”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali. Kemudian memerintahkan ‘Ali untuk melakukannya. ‘Ali Radhiyallahu anhu pun mengulang-ulangnya tiga kali.
ULAMA AHLUS SUNNAH MENJAWAB
Ulama Ahlu Sunnah telah menguliti model dzikir yang dianggap terbaik dari yang ada ini. Alasan yang utama, Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai insan yang paling berwenang menjelaskan syariat dari Allâh Azza wa Jalla tidak pernah sama sekali menetapkan dzikir model demikian, apalagi sampai menyebutnya dengan predikat dzikir paling utama?!. Dan kenyataannya tidak ada satu dalil pun pada dalil-dalil syar’i yang menunjukkan anjuran tentang itu. Dan lagi, juga tidak ada atsar dari salah seorang Salaful ummah[4]
Syaikhul Islam rahimahullah telah membeberkan kelemahan dzikir tersebut dengan keterangan yang sangat panjang lebar dan menarik. Di antaranya beliau menegaskan, “Barang siapa menyangka bahwa ini (dzikir dengan membaca lâ ilâha illallâh) adalah dzikir ‘âmmah (dzikir orang-orang umum/awam) dan (berkeyakinan) dzikir khâsh adalah dengan menyebut-nyebut ismul mufrad (menyebut dengan lafazh ‘Allâh, Allâh…) dan dzikir khâshsshatil khâssah adalah dengan mengulang-ulang kata huwa (kata ganti ketiga untuk Allâh yang artinya Dia), ia adalah orang sesat dan terjerumus dalam kesalahan”.
Dzikir tersebut ditinjau dari sisi tata bahasa Arab saja sudah salah, karena bukan merupakan jumlah mufîdah [5] . Penyebutan satu isim mufrad (nama sesuatu) saja, baik dengan penyebutan nama itu atau menggunakan kata gantinya (dia, ia) bukanlah kalimat sempurna juga bukanlah jumlah mufîdah. Ketika orang mengulang-ulang nama Allâh, Allâh, Allâh, sekian banyak kali, pengulangan ini tidak mendatangkan sebuah pemahaman apapun. Di samping itu, satu nama yang diucap berulang-ulang tidak berpengaruh pada keimanan, kekufuran dan hidayah, karena belum tuntas memberikan keterangan apapun.
Oleh karena itu, ahli bahasa dari seluruh jenis bahasa yang ada sepakat bahwa tidak tepat orang mengucapkan satu nama dan setelah itu berhenti dan diam. Sebab, nama yang ia sebutkan itu tidak lazim disebut perkataan yang sempurna. Bahkan Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Seandainya seseorang mengulang-ulang nama Allah sejuta kali, itu tidak membuatnya beriman, juga tidak berhak memperoleh pahala dari Allah dan syurga-Nya…”.[6]
Adapun istidlâl mereka dengan ayat untuk menguatkan pendapat mereka, dikatakan oleh Syaikhul Islam t sebagai kesalahan yang tampak jelas. Sementara Syaikh al-Fauzân hafizhahullâh dalam Haqîqatut Tashawwuf menilainya sebagai bentuk istidlâl (pengambilan dalil) yang termasuk tahrîfil kalim (penyimpangan perkataan/dalil) dari tempat semestinya. Seandainya mereka merenungi lebih jauh firman Allâh Azza wa Jalla sebelumnya maka akan jelas maksudnya. Ayat yang mereka jadikan pegangan merupakan jawaban permulaan ayat. Sebab di awal ayat surat al-An’âm ayat 91 berfirman :
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَىٰ بَشَرٍ مِنْ شَيْءٍ ۗ قُلْ مَنْ أَنْزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوسَىٰ نُورًا وَهُدًى لِلنَّاسِ ۖ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيرًا ۖ وَعُلِّمْتُمْ مَا لَمْ تَعْلَمُوا أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ
Dan mereka tidak menghormati Allâh dengan penghormatan semestinya dikala mereka berkata: “Allâh tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia”. Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai berai, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya)”.
Jadi maksudnya katakanlah Allâh lah yang menurunkan kitab yang dibawa oleh Musa. Dengan ini, maka istidlâl mereka dengan ayat menjadi gugur. Sementara hadits yang mereka sampaikan berderajat maudhu’ (palsu) berdasarkan kesepakatan Ulama, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Fatawânya. Dengan ini, berarti dzikir dengan isim mufrad atau isim dhamîr tidak memiliki dasar sama sekali dalam syariat Islam.
DZIKIR PALING AFDHAL DALAM HADITS RASULULLAH MUHAMMAD SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dalam urusan dzikir, beliau telah menyampaikan dzikir-dzikir terbaik yang sangat jelas muatan tauhidnya. Bahkan dalam beberapa riwayat hadits, beliau sendiri yang menyatakan dzikir-dzikir tertentu merupakan dzikir paling utama dan afdhal. Di antaranya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الذِّكْرِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَفْضَلُ الدُّ عَاءِ الْحَمْدُ للهِ
Sebaik-baik dzikir adalah (membaca) lâ ilâha illallâh. Dan sebaik-baik doa yaitu alhamdulillah [HR. al-Bukhari no.99]
Inilah dzikir terbaik yang diucapkan seorang Muslim. Ini juga yang beliau minta kepada pamannya, Abu Thâlib untuk mengatakannya dalam sakit yang membawanya kepada kematian. Terdiri dari kalimat yang ringan, namun maknanya sangat agung dan kedudukannya sangat tinggi
Lâ ilâha illallâh sudah merupakan kalimat sempurna, bila dikatakan maka tidak menyisakan tanda tanya pada pendengar. Masih banyak contoh dzikir dari Nabi yang penuh dengan keutamaan dan seluruhnya merupakan bentuk kalimat sempurna. Tidak seperti dzikir Sufi di atas, masih menyisakan kebingungan bagi orang-orang yang mendengarkannya. Coba Anda bayangkan, bila Anda menyaksikan seseorang menyebut-nyebut suatu nama misalnya Ahmad dengan berulang-ulang, apa yang Anda simpulkan dari dirinya?. Atau bila ia menyebut kata ‘dia, dia, dia’ seratus kali, apa pendapat Anda tentang orang tersebut??.
PENUTUP
Sungguh model dzikir yang mereka tekuni yang tidak ada asalnya dalam syariat dengan meninggalkan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dzikir-dzikir yang syar’i menimbulkan pertanyaan mengenai motivasi sebenarnya yang mendorong mereka berbuat demikian?. Kenapa mereka berdzikir dengan wirid yang tidak pernah diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla , meski demikian mereka sangat mengagungkan dan komitmen dengannya, bahkan mengecilkan arti dzikir yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan petunjuk kepada kita sekalian untuk memahami dan mengamalkan petunjuk Nabi Muhammad dalam setiap segi kehidupan.
AMALAN HARI JUMAT
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Hari jumat adalah hari istimewa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai pemimpin semua hari. Dari Abu Lubabah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ سَيِّدُ الأَيَّامِ وَأَعْظَمُهَا عِنْدَ اللَّهِ
Sesungguhnya hari jumat adalah pemimpin semua hari, dan hari yang paling mulia di sisi Allah… (HR. Ahmad 15548, Ibnu Majah 1137 dan dihasankan al-Albani).
Di hari jumat, Allah sediakan satu waktu yang mustajab untuk berdoa.
Dalam hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hari Jumat, lantas beliau bersabda,
فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ ، وَهْوَ قَائِمٌ يُصَلِّى ، يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ
“Di hari Jumat terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim yang ia berdiri melaksanakan shalat lantas dia memanjatkan suatu doa pada Allah bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan memberi apa yang dia minta.” (HR. Bukhari 935, Muslim 2006, Ahmad 10574 dan yang lainnya).
Karena itulah, para ulama di masa silam (salaf) memberikan perhatian besar terhadap hari jumat. Mereka berusaha menjaga amal selama hari jumat. Kita lihat beberapa riwayat dari mereka,
قال أحد السلف: “من استقامت له جمعته، استقام له سائر أسبوعه.”
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Barangsiapa bisa istiqamah pada hari Jumat maka dia akan bisa istiqamah di hari yang lain.”
Ada orang soleh menasehatkan,
ما دعوت الله بدعوة بين العصر والمغرب يوم الجمعة، إلا استجاب لي ربي حتى استحييت
Tidaklah aku berdoa pada hari Jumat antara waktu ashar hingga maghrib melainkan Rabku mengabulkan hingga aku merasa malu.
Para ulama berbeda pendapat terkait kapan waktu mustajab dalam berdoa di hari jumat. Perbedaan pendapat ini bisa anda pelajari di: Waktu Mustajab di Hari Jum’at
Ibadah Para Ulama Salaf Ketika Hari Jumat Setelah Asar
Ada beberapa kegiatan ibadah ulama setelah asar di hari jumat. Kita sebutkan diantaranya,
[1] Riwayat dari Thawus
كان طاووس بن كيسان إذا صلى العصر يوم الجمعة، استقبل القبلة، ولم يكلم أحدًا حتى تغرب الشمس
Imam Thawus bin Kaisan apabila selesai shalat asar pada hari jumat, beliau menghadap kiblat, dan tidak berbicara dengan siapapun sampai maghrib. (Tarikh Wasith, hlm. 187).
[2] Riwayat dari al-Mufadhal bin Fadhalah,
كان المفضل بن فضالة إذا صلى عصر يوم الجمعة، خلا في ناحية المسجد وحده، فلا يزال يدعو حتى تغرب الشمس
Al-Qadhi Al-Mufadhal bin Fadhalah apabila selesai shalat asar pada hari jumat, beliau menyendiri di pojok masjid dan terus berdoa hingga matahari terbenam. (Akhbar al-Qudhat, 3/238)
[3] Riwayat dari Said bin Jubair – murid senior Ibnu Abbas –,
وكان سعيد بن جبير إذا صلى العصر، لم يكلم أحدًا حتى تغرب الشمس – يعني كان منشغل بالدعاء
Said bin Jubair apabila usai shalat ashar pada hari jumat, beliau tidak berbicara dengan siapapun sampai terbenam matahari – karena sibuk berdoa. (Zadul Ma’ad, 1/394)
Keikhlasan Mereka dalam Berdoa di Hari Jumat
Berdoa dengan tulus, menghadrikan perasaan sangat butuh di hadapan Allah, termasuk diantara sebab mustajabnya doa… para ulama salaf sangat khusyu dalam berdoa seusai asar di hari jumat.
Diriwayatkan dalam Tarikh Damaskus, dari Zakariya bin Adi,
كان الصلت بن بسطام التميمي يجلس في حلقة أبي جناب يدعون بعد العصر يوم الجمعة قال فجلسوا يوما يدعون وكان قد نزل الماء في عينيه فذهب بصره فدعوا وذكروا بصره في دعائهم فلما كان قبل غروب الشمس عطس عطسة فإذا هو يبصر بعينيه وإذا قد رد الله عليه بصره
Bahwa as-Shult bin Bushtom at-Tamimi duduk di halaqah Abu Jinab. Mereka berdoa setelah asar di hari jum’at. Suatu ketika di hari jumat, saat mereka sedang berdoa, tiba-tiba mata Shutl bin Busthom ketetesan cairan dan langsung buta. Akhirnya kawan-kawannya mendoakan dan menyebut-nyebut kesembuhan untuk Shult dalam doa mereka. sebelum matahari terbenam, beliau bersin sekali, tiba-tiba beliau bisa melihat dengan kedua matanya. Allah telah mengembalikan pandangannya. (Tarikh Damaskus, 64/140).
Selayaknya kita tidak sia-siakan kesempatan emas ini untuk banyak mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala…
amalan para wali
Para nabi dan para wali (kekasih Allah), adalah orang-orang yang paling dicintai oleh Allah Taala dan paling dekat kepada-Nya serta paling mengenal-Nya. Kita diperintahkan oleh Allah Taala untuk mencintai mereka, meneladani dan meniru mereka dalam semua aspek kehidupan termasuk dalam berdoa. Dalam al-Qur’an, setelah Allah menceritakan karunia-Nya kepada para nabi dan orang-orang shalih berupa al-kitab dan hikmah, dan kenabian, Dia berfirman:
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ .
Artinya: ” Mereka itulah orang-orang yang telah diberikan petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (al-An’am ayat: 90)
diantara amalan yang lazim dikerjakan para wali adalah membaca Hizb yang merupakan kumpulan doa, dzikir, shalawat, munajat bersumber dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis nabi serta ilham yang diberikan kepada mereka berkenaan dengan hajat, keperluan dalam berbagai macam kondisi, baik yang bersifat umum maupun khusus.
A. Definisi Hizb
Kata al-Hizb adalah bentuk Mufrad (tunggal). Bentuk jama’nya (plural) yaitu al-Ahzab. Seperti wazan kata al-Wird dengan bentuk jama’ al-Aurad dan kata adz-Zikr dengan bentuk jama’ al-Adzkar.
Secara etimologi Hizb adalah satu wiridan yang dilazimi oleh seseorang baik berupa ayat-ayat al-Qur’an, dzikir, doa, shalawat atau bacaan lainnya. Hizb juga berarti kelompok, bagian (jatah) sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Ahmad al-Fayumiy dalam kitabnya “Mishbahul Munir” dan Syaikh Muhammad al-Qurasyiy dalam kitabnya “Sharrahul Lughah” serta beberapa pakar bahasa lainnya.
Dalam kitab Masyariq al-Anwar Imam Qadhi Iyadh (w. 544 H) menyatakan Hizb adalah: sesuatu yang dijadikan seseorang untuk dibaca baik berbentuk shalawat atau bacaan lainnya. Pada bentuk dasarnya Hizb adalah “Nawbah” (perputaran) pada saluran air.
Imam Majduddin Muhammad Bin Ya’qub al-FairuzAbadiy (w. 817 H) pengarang kamus “al-Muhith” mengatakan: Hizb dibaca dengan kasrah Ha memiliki arti: wirid, kelompok, senjata, kumpulan manusia dan pasukan.
Syaikh Abu Nashr Ismail al-Jauhariy (w. 393 H) dalam kitabnya “as-Shihhah” mengatakan: Hizb memiliki arti: kumpulan, wirid. Orang berkata aku menghizibkan al-Qur’an maknanya adalah aku jadikan bacaan al-Qur’an sebagai wiridan.
Dari beberapa pengertian Hizb dipandang dari segi etimologi yang disebutkan oleh para ulama pakar bahasa Imam Muhammad Bin Thayyib al-Maghribiy al-Fasiy (w. 1175 H) menyimpulkan bahwa Hizb secara bahasa digunakan dalam beberapa makna, diantaranya:
1. Wird, satu wazan dan makna dengan kata Hizb.
2. Bagian (jatah), sebagaimana dinyatakan oleh pengarang kitab Mishbah al-Munir dan pengarang kitab as-Sharrah.
3. Kelompok, sebagian ulama di antaranya Syaikh al-Husain Bin Muhammad yang terkenal dengan sebutan al-Raghib al-Ashfahaniy (w. 502 H) memberikan arti: kelompok yang kuat dan perkasa.
4. Senjata, yakni alat yang digunakan untuk perang memerangi musuh.
5. Tentara (pasukan), makna ini lebih khusus ketimbang diartikan sebagai kelompok manusia, lantaran tentara adalah kumpulan manusia yang disiapkan untuk berperang. Sebagaimana firman Allah Taala dalam surat al-Mujadilah ayat: 19 ( اولئك حزب الشيطان )
6. Perputaran, zaman dahulu kala orang arab membatasi pada waktu-waktu tertentu untuk melakukan pengairan. Sebagaimana pembacaan hizb dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Makna ini disebutkan oleh Imam al-Harawiy dan Imam Ibnu Atsir dalam kitab an-Nihayah.
Sedangkan dalam tinjaun terminologi Hizb adalah: Kumpulan dzikir, doa, tawajjuh (pengarahan) yang digunakan sebagai bentuk media ibadah (mengingat Allah), tadzkir (peringatan), perlindungan dari segala kejahatan, permohonan kebaikan dan mendapatkan ilmu pengetahuan disertai dengan upaya menata hati dalam kekhusyuan kepada Allah Taala. Hal ini dinyatakan oleh para ulama diantaranya: Imam Ahmad Zarruq (w. 899 H), Imam Abdurrahman Bin Muhammad al-Fasiy (w. 1070 H), Imam Muhammad al-Arabiy bin Yusuf al-Fasiy (w. 1052 H).
B. Sejarah Lahirnya Hizb
Di zaman Rasulullah shallallahu Alaihi wa sallam dan para sahabat tidak dikenal istilah Hizb. Hizb merupakan kumpulan ayat-ayat al-Qur’an, doa, dzikir, shalawat dan bacaan lainnya awal kalinya di kenal pada zaman tabi’ tabi’ut tabiin. Hizb yang disusun oleh para ulama shalihin dari kalangan ahli tasawuf sebagai panduan dan pedoman para salik (penempuh jalan Allah) dan para murid dalam bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Taala. Susunan Hizb yang dijadikan wiridan itu pada umumnya merupakan susunan yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam kepada para wali melalui perjumpaan ruhani dengan beliau baik dalam manaman (mimpi) atau dalam kondisi yaqzhotan (sadar). Sebagaimana al-Quthb al-Maktum al-Imam Sayidi Syaikh Ahmad Bin Muhammad at-Tijaniy Radhiyallahu Anhu mengatakan: “Tidaklah aku menyusun satu wiridan melainkan wirid tersebut telah diberikan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam kepadaku.”
Ditegaskan pula oleh Syaikhul Islam Sayidi Ibrahim al-Riyahiy at-Tunisiy Radhiyallahu Anhu dalam qashidah Siniyyah beliau berbahar kamil:
وَمَا ظنُونُكَ بالوِرْدِ الَّذِي نَظمَتْ * يَدُ النُّبُوَّةِ هَلْ يُبْنَى بِلاَ سَاسِ
Artinya: “Apakah tuduhanmu terhadap wiridan yang telah disusun oleh tangan kenabian yakni Rasulullah, apakah wiridan itu tidak memiliki dasar?
C. Macam-Macam Hizb
Khazanah perpustakaan Islam sangat kaya sekali dengan adanya karya-karya ilmiah yang dikarang oleh para ulama. Ada ratusan Hizb yang disusun oleh para wali yang menambah perbendaharan kekayaan ilmu dalam dunia Islam. Di antara Hizb yang Mutadawil (populer):
– Hizb Saifiy dinisbahkan kepada Sayidina Ali Bin Abi Thalib
– Hizb ar-Raja wa al-Intiha Imam Abdul Qadir al-Jilaniy
– Hizb al-Hirasah Imam Ahmad ar-Rifaiy
– Hizb Daurul A’la Imam Muhyiddin Ibnu Arabiy al-Hatimiy
– Hizb Nashar Imam Abul Hasan as-Syadzilliy
– Hizb Bahr Imam Abul Hasan as-Syadzilliy
– Hizb Bar Imam Abul Hasan as-Syadzilliy
– Hizb al-Fath wa an-Nur Imam Ibn Sab’in
– Hizb Barzakh Imam Ibrahim ad-Dasuqiy
– Hizb Nawawiy Imam Muhyiddin an-Nawawiy ad-Dimasyqiy
– Hizb Sakran Imam Ali Bin Abi Bakr as-Sakran
– Hizb al-Fath Imam Abdullah Bin Alawiy al-Haddad
– Hizb Jazr Imam Ahmad Bin Muhammad at-Tijaniy
– Hizb al-A’zham Imam Mula Ali al-Qariy
Dan lain-lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar